Ketika negara-negara Barat meributkan bahkan gencar memberlakukan larangan muslimah berjilbab dan bercadar di tempat-tempat umum termasuk institusi pendidikan, ketika sebagian besar masyarakat Barat masih berpandangan bahwa Islam merendahkan dan menindas kaum perempuan, perempuan-perempuan
muslim justru muncul sebagai kaum perempuan yang paling berpendidikan di seluruh dunia.
Bahkan di negara Arab Saudi, yang memberlakukan aturan Islam yang ketat terhadap kaum perempuannya. Para muslimah di Arab Saudi rata-rata lulusan universitas dan menjadi kaum perempuan yang berprestasi dan sukses di dunia, antara lain di bidang ilmu pengetahuan.
Badan PBB yang membidangi masalah pendidikan, UNESCO dalam laporan terbarunya menyebutkan bahwa kaum perempuan yang mendaftarkan diri ke jenjang universitas dan kaum perempuan yang menyandang gelar sarjana di Arab Saudi jumlahnya melebihi rata-rata jumlah kaum perempuan di Barat yang bergelar sarjana atau mengenyam pendidikan sampai tingkat universitas.
Laporan UNESCO juga menyebutkan, di 13 negera muslim, kaum perempuan yang menggeluti bidang ilmu pengetahuan persentasenya lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan di AS. Bahkan di Arab Saudi, 40 persen sarjana yang bergelar doktor adalah kaum perempuan ! Diantara tokoh Arab masa kini yang dikenal aktif mengenalkan sains pada kaum perempuan sehingga mereka berminat mempelajari atau terjun ke dunia sains adalah Syaikh Mozah dari Qatar dan Puteri Sumaya di Yordania.
Tak diragukan lagi, perempuan-perempuan muslimlah yang kini memimpin revolusi sains di dunia Islam. Salah seorang muslimah yang prestasinya di bidang ilmu pengetahuan sudah diakui dunia dunia adalah Samira Islam. Seorang muslimah asal Saudi yang bergelar PhD dan satu dari sedikit perempuan dunia yang mendapat penghargaan "Women in Science" dari UNESCO.
Di negara asalnya, Samira berperan penting dalam mengembangkan sistem pendidikan bagi kaum perempuan. Ia mengatakan, dalam banyak hal, kondisi di Arab Saudi pada akhir tahun 1950-an--saat ia masih remaja--sangat jauh berbeda dengan sekarang. "Pada masa itu jumlah sekolah masih sangat sedikit dan pendidikan bagi kaum perempuan masih sangat primitif. Sebagian besar orang tua di Saudi lebih senang anak perempuannya diam di rumah, hanya belajar Al-Quran. Itulah pendidikan maksimal kaum perempuan Saudi kala itu," tutur Samira.
Tapi Samira beruntung memiliki orang tua, terutama ayahnya yang menginginkannya mendapatkan pendidikan yang baik. Ayah Samira menyewa jasa guru dari sekolah lokal untuk membimbing Samira belajar. Ketika memasuki jenjang sekolah menengah pertama, ayah Samiran menyadari fasilitas pendidikan jenjang sekolah menengah bagi anak perempuannya sangat minim di Saudi. Samira lalu dikirim ke Mesir untuk melanjutkan sekolah dan akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai mendapat gelar PhD di bidang farmasi.
"Gelar PhD yang berhasil saya raih menjadi berita besar di Saudi dan banyak orang yang mewawancarai ayah saya," kata Samira.
Ia lalu bercerita, "Ada sebuah surat kabar yang mewawancarai ayah saya, itu adalah terakhir kalinya ayah saya diwawancarai sebelum ia wafat. Pertanyaan terakhir yang ditanyakan wartawan surat kabar itu pada ayah saya adalah, bagaimana perasaannya tentang puterinya, yang menjdi perempuan Saudi pertama bergelar PhD. Ayah saya menjawab, 'Sekarang, saya bisa menerima kematian dengan tenang.'" Beberapa bulan kemudian, ayah Samira wafat dan Samira memutuskan untuk kembali ke Arab Saudi.
Samira kemudian bekerja Universitas King Abdul Aziz yang membuka perkualiahan khusus untuk mahasiswi meski mereka tidak diizinkan mendaftarkan diri secara resmi di universitas tersebut. Tapi tak banyak kaum perempuan yang mengikuti program perkuliahan itu karena jadwal kuliahnya selepas maghrib dan lokasi gedung kuliah yang terpisah dari kompleks universitas. Samira tidak nyaman dengan kondisi ini. Ia lalu memperjuangkan agar program perkuliahan khusus untuk mahasiswi dijadikan program resmi universitas tersebut.
Perjuangan Samira tidak berjalan mulus karena masyarakat Saudi masih sangat fanatik dan masih beranggapan bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan di luar rumah. Pimpinan Universitas King Abdul Aziz mengingatkan Samira bahwa kelompok-kelompok fanatik akan membunuhnya jika nekad membuka perkuliahan khusus untuk mahasiswi. Tapi Samir bersikeras minta diberi kesempatan.
"Memang ada kelompok masyarakat yang fanatik--saya tidak senang menggunakan istilah kaum Islamis--yang merusak citra Islam, karena diantara mereka ada kalangan oportunis yang menentang sekolah untuk anak perempuan. Kelompok ini mendatangi Raja Faisal dan mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan anak-anak perempuan mereka sekolah. Raja Faisal lalu mengatakan, 'Bahkan jika sekolah itu ada di gurun pasir, siapa saja yang mau sekolah silahkan sekolah, yang tidak mau ke sekolah tidak perlu datang ke sekolah,'" papar Samira menceritakan pengalamannya.
Perjuangan Samira mulai membuahkan hasil pada tahun 1974. Anak-anak perempuan boleh secara resmi mendaftarkan diri ke universitas. Mereka bisa mengambil jurusan kedokteran dan sains. "Waktu berjalan dengan cepat dan sebagian besar masyarakat sekarang sudah bisa menerima perubahan itu," ujar Samira.
Di tahun pertama, kata Samira, ada 40 mahasiswi yang mendaftarkan diri ke jurusan sains dan 60 mahasiswi mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran. Sekarang, 55 persen dari jumlah total mahasiswa di Saudi adalah kaum perempuan. "Saya tidak tahu apakah ini karena pengaruh dari pengalaman saya tinggal di Mesir, tapi saya ingin melihat adanya perubahan meski lambat, dan banyak hal yang kini telah berubah. Kami memiliki muslimah-muslimah yang terbukti cerdas dan mampu menjadi seorang ilmuwan," tandas Samira.
Itu baru Arab Saudi, belum negara-negara muslim lainnya yang cenderung lebih memberi kelonggaran bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Laporan UNESCO menunjukkan bahwa para muslimah dari dunia Islam sudah mengalahkan kaum perempuan di Barat dari sisi pendidikan. Bukan tidak mungkin, dunia ilmu pengetahuan di dunia yang pernah berjaya di tangan para ilmuwan muslim, di masa depan akan berada di tangan para muslimah-muslimah dari negeri-negeri muslim.
muslim justru muncul sebagai kaum perempuan yang paling berpendidikan di seluruh dunia.
Bahkan di negara Arab Saudi, yang memberlakukan aturan Islam yang ketat terhadap kaum perempuannya. Para muslimah di Arab Saudi rata-rata lulusan universitas dan menjadi kaum perempuan yang berprestasi dan sukses di dunia, antara lain di bidang ilmu pengetahuan.
Badan PBB yang membidangi masalah pendidikan, UNESCO dalam laporan terbarunya menyebutkan bahwa kaum perempuan yang mendaftarkan diri ke jenjang universitas dan kaum perempuan yang menyandang gelar sarjana di Arab Saudi jumlahnya melebihi rata-rata jumlah kaum perempuan di Barat yang bergelar sarjana atau mengenyam pendidikan sampai tingkat universitas.
Laporan UNESCO juga menyebutkan, di 13 negera muslim, kaum perempuan yang menggeluti bidang ilmu pengetahuan persentasenya lebih tinggi dibandingkan kaum perempuan di AS. Bahkan di Arab Saudi, 40 persen sarjana yang bergelar doktor adalah kaum perempuan ! Diantara tokoh Arab masa kini yang dikenal aktif mengenalkan sains pada kaum perempuan sehingga mereka berminat mempelajari atau terjun ke dunia sains adalah Syaikh Mozah dari Qatar dan Puteri Sumaya di Yordania.
Tak diragukan lagi, perempuan-perempuan muslimlah yang kini memimpin revolusi sains di dunia Islam. Salah seorang muslimah yang prestasinya di bidang ilmu pengetahuan sudah diakui dunia dunia adalah Samira Islam. Seorang muslimah asal Saudi yang bergelar PhD dan satu dari sedikit perempuan dunia yang mendapat penghargaan "Women in Science" dari UNESCO.
Di negara asalnya, Samira berperan penting dalam mengembangkan sistem pendidikan bagi kaum perempuan. Ia mengatakan, dalam banyak hal, kondisi di Arab Saudi pada akhir tahun 1950-an--saat ia masih remaja--sangat jauh berbeda dengan sekarang. "Pada masa itu jumlah sekolah masih sangat sedikit dan pendidikan bagi kaum perempuan masih sangat primitif. Sebagian besar orang tua di Saudi lebih senang anak perempuannya diam di rumah, hanya belajar Al-Quran. Itulah pendidikan maksimal kaum perempuan Saudi kala itu," tutur Samira.
Tapi Samira beruntung memiliki orang tua, terutama ayahnya yang menginginkannya mendapatkan pendidikan yang baik. Ayah Samira menyewa jasa guru dari sekolah lokal untuk membimbing Samira belajar. Ketika memasuki jenjang sekolah menengah pertama, ayah Samiran menyadari fasilitas pendidikan jenjang sekolah menengah bagi anak perempuannya sangat minim di Saudi. Samira lalu dikirim ke Mesir untuk melanjutkan sekolah dan akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai mendapat gelar PhD di bidang farmasi.
"Gelar PhD yang berhasil saya raih menjadi berita besar di Saudi dan banyak orang yang mewawancarai ayah saya," kata Samira.
Ia lalu bercerita, "Ada sebuah surat kabar yang mewawancarai ayah saya, itu adalah terakhir kalinya ayah saya diwawancarai sebelum ia wafat. Pertanyaan terakhir yang ditanyakan wartawan surat kabar itu pada ayah saya adalah, bagaimana perasaannya tentang puterinya, yang menjdi perempuan Saudi pertama bergelar PhD. Ayah saya menjawab, 'Sekarang, saya bisa menerima kematian dengan tenang.'" Beberapa bulan kemudian, ayah Samira wafat dan Samira memutuskan untuk kembali ke Arab Saudi.
Samira kemudian bekerja Universitas King Abdul Aziz yang membuka perkualiahan khusus untuk mahasiswi meski mereka tidak diizinkan mendaftarkan diri secara resmi di universitas tersebut. Tapi tak banyak kaum perempuan yang mengikuti program perkuliahan itu karena jadwal kuliahnya selepas maghrib dan lokasi gedung kuliah yang terpisah dari kompleks universitas. Samira tidak nyaman dengan kondisi ini. Ia lalu memperjuangkan agar program perkuliahan khusus untuk mahasiswi dijadikan program resmi universitas tersebut.
Perjuangan Samira tidak berjalan mulus karena masyarakat Saudi masih sangat fanatik dan masih beranggapan bahwa kaum perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan di luar rumah. Pimpinan Universitas King Abdul Aziz mengingatkan Samira bahwa kelompok-kelompok fanatik akan membunuhnya jika nekad membuka perkuliahan khusus untuk mahasiswi. Tapi Samir bersikeras minta diberi kesempatan.
"Memang ada kelompok masyarakat yang fanatik--saya tidak senang menggunakan istilah kaum Islamis--yang merusak citra Islam, karena diantara mereka ada kalangan oportunis yang menentang sekolah untuk anak perempuan. Kelompok ini mendatangi Raja Faisal dan mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan anak-anak perempuan mereka sekolah. Raja Faisal lalu mengatakan, 'Bahkan jika sekolah itu ada di gurun pasir, siapa saja yang mau sekolah silahkan sekolah, yang tidak mau ke sekolah tidak perlu datang ke sekolah,'" papar Samira menceritakan pengalamannya.
Perjuangan Samira mulai membuahkan hasil pada tahun 1974. Anak-anak perempuan boleh secara resmi mendaftarkan diri ke universitas. Mereka bisa mengambil jurusan kedokteran dan sains. "Waktu berjalan dengan cepat dan sebagian besar masyarakat sekarang sudah bisa menerima perubahan itu," ujar Samira.
Di tahun pertama, kata Samira, ada 40 mahasiswi yang mendaftarkan diri ke jurusan sains dan 60 mahasiswi mendaftarkan diri ke fakultas kedokteran. Sekarang, 55 persen dari jumlah total mahasiswa di Saudi adalah kaum perempuan. "Saya tidak tahu apakah ini karena pengaruh dari pengalaman saya tinggal di Mesir, tapi saya ingin melihat adanya perubahan meski lambat, dan banyak hal yang kini telah berubah. Kami memiliki muslimah-muslimah yang terbukti cerdas dan mampu menjadi seorang ilmuwan," tandas Samira.
Itu baru Arab Saudi, belum negara-negara muslim lainnya yang cenderung lebih memberi kelonggaran bagi kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Laporan UNESCO menunjukkan bahwa para muslimah dari dunia Islam sudah mengalahkan kaum perempuan di Barat dari sisi pendidikan. Bukan tidak mungkin, dunia ilmu pengetahuan di dunia yang pernah berjaya di tangan para ilmuwan muslim, di masa depan akan berada di tangan para muslimah-muslimah dari negeri-negeri muslim.
Sumber: Media Islam Rujukan, EraMuslim
Nb: Noni = Non Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar