Minggu, 05 September 2010

Sikap Israel Masih Belum Jelas

Banyak pihak di Timur Tengah kemarin mengekspresikan pesimisme dan skeptimisme terhadap hasil perundingan Israel dan Palestina untuk meraih perdamaian.

Ketua Liga Arab Amr Moussa mempertanyakan niat Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu selama
perundingan langsung dengan Palestina. “Marilah kita lihat apa yang telah dikompromikan Netanyahu, kita tidak pernah mendengar dari pihak Israel mengenai beberapa inisiatif atau posisi konkret, ” kata Amr Moussa. Dia juga terkejut mengapa Israel siap menerima Negara Palestina dengan ibu kota Yerusalem. Dari Teheran, Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad mengatakan bahwa perundingan langsung antara Presiden Palestina Mahmoud Abbas yang didukung Barat dan Netanyahu adalah sebuah “malapetaka”.

“ Apa yang mereka ingin negosiasikan? Mereka mewakili siapa? Apa yang mereka bicarakan?” kritik Ahmadinejad terhadap Abbas. “Siapa yang memberikan mereka hak untuk menjual tanah Palestina? Rakyat Palestina dan rakyat di wilayah ini (Iran) tidak akan mengizinkan satu inci pun tanah Palestina dijual kepada musuh. Perdamaian itu adalah sebuah kegagalan dan malapetaka!”tegas Ahmadinejad. Iran memang dikenal menolak perundingan dan sangat mendukung Hamas yang menguasai Gaza. Dalam kesempatan itu, Ahmadinejad juga menyatakan bahwa Timur Tengah mampu mengenyahkan rezim Zionis dari peta dunia.


“Jika pemimpin di wilayah ini (Timur Tengah) tidak memiliki keberanian, kemudian orang-orang di wilayah ini (Iran) mampu menghancurkan rezim Zionis dari dunia ini, ”ujarnya. Hal senada juga ditegaskan gerakan garis keras Hamas. Gerakan perlawanan dan pengutukan terhadap perjanjian perdamaian itu ditunjukkan Hamas dan pejuang Jihad Islam ketika menggelar demonstrasi di Jalur Gaza untuk memperingati hari Al-Quds. Al- Quds merupakan acara tahunan di Jumat terakhir bulan Ramadan untuk mengekspresikan solidaritas dengan warga Palestina dan menentang Zionisme. “Negosiasi yang dilakukan rakyat Palestina selama dua dekade tak berarti.

Rakyat Palestina tidak pernah mendapatkan sesuatu dari mereka kecuali kehilangan hakhak mereka, ” ujar Ismail Rudwan, pejabat Hamas. “Bagaimanapun, kita menganggap bahwa berpartisipasi dalam negosiasi seperti itu adalah sebuah kejahatan dan pengkhianatan, ”imbuhnya. Namun, Sabri Saidam, anggota Dewan Revolusioner Fatah di Ramallah mengatakan bahwa gerakannya mendukung perundingan tersebut karena memberikan hasil yang positif. Tetapi, Ahmed Yousef, Deputi Menteri Luar Negeri Hamas mengatakan, rakyat Palestina tidak mendukung Abbas. “Ini bukan saat yang tepat untuk menggelar perundingan.

Kita tahu Abbas adalah masalah besar. Dia telah didikte Amerika dengan datang ke Washington. Dan sungguh tak beruntung, negara-negara Arab yang pro-Washington juga mendukung Abbas, ”kata Yousef. Sedangkan para analis di negara-negara Arab dan Israel menggambarkan bahwa kegairahan semangat perdamaian dalam perundingan di Washington hanya sebagai teater politik. Mereka justru meragukan niat para pemimpin saat ini untuk mencapai sebuah terobosan sejarah, yakni perdamaian.

Namun, kolumnis Israel Nahum Barnea mengekspresikan optimisme keterlibatan Amerika Serikat (AS) dan adanya “komitmen pribadi” dari Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu untuk mencapai kesepakatan. “Perbedaan yang dramatis itu diperluas dengan keterlibatan Amerika, ” tulisnya pada kolom di harian terbesar di Israel, Yediot Aharonot. “Mungkin itu bukan sebuah pertunjukan. Bukan hanya sebuah pertunjukan. Bukan saat ini, ” katanya. Harian Jerusalem Post lebih skeptis lagi. Media yang cenderung kanan itu menyatakan, serangan ganda gerakan Hamas sebelum perundingan merupakan tandatanda buruk.

Harian itu juga mengekspresikan keraguannya terhadap Presiden Palestina Mahmud Abbas akan mengikuti langkah Presiden Mesir Anwar Sadat yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel pada 1979. “Hati ini sungguh-sungguh ingin melihat bahwa pesimisme saat ini terbukti salah. Ditarik kesimpulan bahwa Netanyahu berharap menemukan Sadat baru dalam sosok Abbas. Tapi, itu akan membuktikan adanya serangan teror pada pekan ini yang menimbulkan kesedihan dan ketakutan, ” demikian tulis editor Jerusalem Post David Horowitz. Sebelumnya, pada Kamis (2/9), Netanyahu-Abbas berjanji bekerja untuk mencapai resolusi dalam berbagai perbedaan-perbedaan dalam kurun waktu satu tahun.


Kedua pemimpin setuju untuk mengadakan perundingan lanjutan pada 14–15 September di resor Sharm el-Sheik di Mesir. Pertemuan tersebut akan melibatkan AS dan anggota kuartet lainnya. Selanjutnya, kedua belah pihak akan bertemu setiap dua minggu.

Sumber: okzone Internasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar