Senin, 13 September 2010

Ingat Orang Tua Selalu Ingat Kebaikannya

Ada peristiwa menarik yang terjadi pada hari pertama Idul Fitri kemarin. Tidak seperti biasanya pada saat mau sungkem minta maaf kepada Ibu. Tiba-tiba ibu mengatakan bahwa beliau sudah memberikan maaf kepada saya dan tidak usah melakukan sungkem. Tapi ???
Ya ada tapinya yaitu ubahlah permohonan maaf saya dengan mengingat kembali kebaikan-kebaikan para orang tua baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Kemudian contoh atau tiru perbuatan baik para orang tua tersebut agar saya bisa meninggalkan hal yang baik sebelum meninggalkan dunia kelak.

Saya sempat terkejut mendengarnya tapi saya tetap sungkem mohon maaf kepada Ibu. Menurut saya, a sikap ibu yang aneh pada hari itu. Saya pikir Ibu melakukan hal tersebut hanya kepada saya tapi beliau melakukan hal yang sama juga ketika kakak-adik saya datang untuk sungkeman kepadanya.

Ada apakah gerangan yang terjadi ? Setelah semua tamu termasuk kakak-adik pulang dan rumah kembali sepi, Ibu meminta saya untuk menemaninya untuk  menonton TV. Di saat itulah Ibu menceritakan kenangan-kenangan masa lalu terutama mengenai Bapak, Kakek, Paman atau Guru-guru beliau. Dengan seksama saya mendengarkannya dan sempat tertawa ketika beliau menceritakan hal yang lucu pada masa mudanya.

Ada satu cerita menarik yang berkaitan dengan kebaikan orang tua dulu yaitu mengenai Bapaknya ibu  bernama Datuk Merahmad (kakek saya). Perlu diketahui profesi Datuk saya sampai akhir hayatnya adalah seorang Hakim Pengadilan Negeri dan Militer di Sumatera Selatan. Kemudian Ibu bercerita tentang laku lampah Datuk selama hidupnya. Sebelum menjadi pegawai pemerintahan Hindia Belanda, selama 8 tahun Datuk menempuh pendidikan di Sekolah Pegawai Pangreh Praja dengan nama MOSVIA (Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Bestuur Ambtenaren) di Bukit Tinggi. Setelah lulus tahun 1927, Datuk diangkat menjadi Demang di Muko-Muko, Bengkulu menggantikan mertua beliau (Datuk Abdul Azis) karena meninggal dunia.

Pada tahun 1950, oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka Datuk diangkat menjadi Hakim Pengadilan Negeri dan Militer di Bengkulu. Baru pada tahun 1953, Datuk diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Negeri dan Militer di Padang. Setelah hampir 5 tahun mengabdi menjadi hakim di Padang, Datuk diangkat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Sumatera Selatan merangkap Hakim Mahkamah Militer (1958-1966) dan meninggal dunia di Palembang pada tahun 1967.

Sebagai anak dan cucu bangsawan di Bengkulu, Datuk mempunyai kemudahan dalam urusan pendidikan sehingga bisa mengecap pendidikan tinggi tapi pada jaman Jepang Datuk membawa keluarganya melarikan diri ke hutan karena dianggap sebagai antek pemerintah Belanda oleh penjajah Jepang. Dengan latar belakang keluarga Datuk maka tidaklah mengherankan beliau dihormati dan disegani oleh masyarakat. Tetapi beliau sangat tidak menyukai sikap masyarakat yang selalu duduk sembah bila bertemunya. Kata Ibu, Datuk pasti marah dan menyuruh mereka untuk tidak menyembah beliau seperti jaman kerajaan dulu.

Sebagai seorang hakim yang mendapatkan fasilitas dari negara seperti rumah dan mobil dinas, Datuk selalu wanti-wanti kepada anak-anaknya yaitu tidak boleh menggunakan fasilitas negara tersebut untuk keperluan pribadi. Beliau mengatakan kalau fasilitas negara tersebut diberikan untuk keperluan dinas beliau bukan untuk keluarganya sambil menunjukkan Surat Keputusan Pengangkatan beliau bahwa SK tersebut hanya menyebut nama beliau dan tidak tertulis nama-nama keluarganya. Jadi hanya untuk beliau hehehehe



Datuk selalu mengingatkan isteri dan anak-anaknya agar siapapun yang datang ke rumah dinas untuk urusan dinas (perkara)  di luar jam kerja maka hukumnya wajib dilarang alias disuruh bertemu di kantor pada jam kerja atau diusir bila masih ngeyel baik beliau ada atau tidak ada di rumah. Siapapun tamu yang datang tepat waktu Maghrib, beliau melarang keluarganya untuk menerimanya atau mendiamkan saja sampai sekeluarga menjalankan Sholat Maghrib.

Pernah satu hari adik ibu yang paling kecil selepas pulang sekolah dipanggil oleh seorang tauke Cina yang mempunyai toko pakaian memberikan dua potong baju karena merasa kasihan melihat anak hakim berpakaian yang sudah banyak tambalannya. Tanpa disengaja Datuk melihat adik ibu mengenakan baju pemberian tersebut, langsung saja Datuk menginterogasi adik Ibu dan menanyakan darimana asal baju tersebut karena dengan uang jajan yang diberikan maka tidak mungkin adik Ibu mampu membelinya. Dengan wajah ketakutan akhirnya adik Ibu mengatakan sebenarnya. Langsung saja Datuk mengajak adik Ibu ke tauke Cina tersebut dan mengembalikan pemberian tersebut sambil memarahi sang tauke Cina tersebut. Datuk mengingatkan tauke Cina tersebut agar jangan sekali-kali memberikan apapun kepada anak-anaknya dengan alasan jabatannya, kemampuannya untuk memenuhi keperluan keluarganya dan alasan utamanya adalah menghindari fitnah (bisisk-bisik tetangga). Padahal tauke Cina tersebut tidak pernah mempunyai kasus hukum.

Selain itu ada sebuah peristiwa dimana saat Datuk pulang kerja, beliau menemukan satu kaleng biskuit (satu blek) di meja tamu. Maka beliau menanyakan kepada Andung (nenek saya) mengenai kaleng tersebut. Setelah mengetahui siapa yang memberikan dan apa isi di dalam kaleng tersebut maka Datuk marah besar dan menelpon polisi untuk menangkap orang yang memberikannya. Ternyata di dalam kaleng tersebut berisi uang dalam jumlah yang besar. Oleh Datuk, pemberian tersebut dikembalikan tanpa pernah menyentuh atau membukanya. Ternyata beliau mengetahui adanya usaha penyuapan agar kasus hukum orang yang memberikan hadiah tersebut dihentikan alias dibebaskan dari segala tuntutan.

Ada satu kejadian unik pada saat menetapkan keputusan hukum terutama kepada orang-orang yang melakukan tindakan pidana ringan. Contohnya adalah maling ayam. Datuk selalu menetapkan hukuman yang lain daripada yang lain. Terpidana tidak dimasukkan penjara tetapi dipekerjakan di rumah-rumah dinas pejabat pemerintah selama masa hukumannya antara 6-12 bulan. Beliau mengatakan demikian kepada terpidana tersebut,

” Kalian diberikan hukuman kerja sosial di rumah-rumah dinas pejabat pemerintah. Ada yang jadi tukang rumput, supir, penjaga rumah dan lain-lain. Tapi bila ketahuan melakukan pelanggaran hukum selama masa hukuman maka akan diberikan hukuman yang lebih berat dan dimasukkan ke penjara atau bahkan lebih berat lagi yaitu ditembak mati karena semua pejabat pemerintahan dijaga oleh polisi/tentara yang dipersenjatai. Sayapun bisa menembak kalian bila melakukan tindakan kejahatan di rumah saya. Lagipula nama baik kalian dijaga dan tetap baik karena setelah kalian melewati masa hukuman maka masyarakat tidak akan menyebut kalian sebagai mantan narapidana (bromocorah) tetapi mantan pekerja karena tidak dibui “

Walaupun Datuk sudah lama meninggal dunia, maka tidaklah mengherankan (sampai sekarang) “mantan-mantan tersebut” dan keluarganya masih selalu melakukan silaturahim ke rumah Datuk di Palembang terutama pada saat Idul Fitri. Mereka merasakan adanya nilai-nilai kekeluargaan dalam sikap dan perbuatan almarhum Datukselama hidupnya.

Masih banyak cerita tentang laku lampah beliau selama hidupnya yang diceritakan oleh ibu. Mungkin butuh tulisan yang lebih panjang. Tetapi saya berharap dengan cerita di atas, kita mau mengetahui, merenungkan dan menjalankan setiap perbuatan baik orang tua kita dulu dalam kehidupan sehari-hari. Saya mohon maaf. Bukan ingin menyombongkan atau pamer dengan menuliskan kisah Datuk sendiri tetapi berharap tulisan ini dapat mengingatkan kembali tentang kesucian fitrah manusia yaitu menjadi manusia yang baik dan bermanfaat.

Sumber: Kompas Online - OPINI Cechgentong

Tulisan Sebelumnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar