Kamis, 26 Agustus 2010

Mencari Nafkah Karena Cinta

Seorang suami mendapatkan tanggung jawab finansial dalam rumah tangga. Segala kebutuhan ekonomi yang muncul setelah terjadinya pernikahan, menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhinya. Oleh karena itu, seorang suami yang tidak mau bekerja mencari nafkah sehingga tidak bisa memberikan
nafkah kepada isteri dan anak-anak, ia telah melanggar kewajiban agama. Islam meletakkan kewajiban mencari nafkah pada suami, sesuai dengan pembagian peran yang digariskan Allah Ta’ala:

“…dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (An Nisa’ : 34).

Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dan kamu wajib memberi nafkah kepada mereka (isteri) dan memberi pakaian secara makruf” (Riwayat Muslim).

Ibnu Mundzir berpendapat, “Para ulama telah bersepakat atas kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri, apabila ia telah mencapai usia baligh, kecuali isterinya nusyuz. Tidak ada suatu yang dapat menggugurkan kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri selain nusyuz. Adapun sakit, haidh, nifas, puasa, haji, suami pergi, dan suami dipenjara karena kebenaran atau karena kejahatan, maka semua itu tidak menggugurkan kewajiban nafkah”.

Suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kewajiban mencari rizki Allah di muka bumi, karena berbarengan dengan adanya kehidupan, Allah telah pula memberikan sumber-sumber penghidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan :

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu itu (sumber) penghidupan” (Al A’raf : 10).


Pernah suatu ketika Rasulullah ditanya seseorang, “Ya Rasulullah, pekerjaan apa yang terbaik ?” Maka beliau menjawab :

“Pekerjaan yang terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang baik” (Riwayat Ahmad, Baihaqi dan lain-lain).

Khalifah Umar bin Khathab ra pernah berkata, ”Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu hanya duduk-duduk saja dan tidak berusaha untuk mencari rizki dan hanya berdoa : ‘ Ya Allah  berilah hamba rizki !’ Tahukah kamu, dan semua telah tahu bahwa langit itu tak akan menurunkan hujan berupa emas atau perak .”

Hal ini karena Islam tidak menghendaki kemalasan dan kejumudan. Justru Islam sangat mendorong umatnya agar senantiasa aktif, dinamis, bergerak melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Saya benar-benar benci kalau melihat orang hanya menganggur saja, tak berusaha untuk kepentingan dan urusan keduniaannya dan tidak pula berusaha untuk akhirat.”

Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Bagaimana pendapat anda mengenai seseorang yang hanya duduk di rumah atau di masjid dan dia berkata : ‘Saya tidak mengerjakan sesuatu apapun, sehingga rizkiku akan datang nanti dengan sendirinya.’ Imam Ahmad menjawab, “Orang tersebut sangat bodoh dan tak mengerti ilmu agama sama sekali. Apakah orang yang demikian itu tak mendengar sabda Nabi : ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku terletak di bawah tombakku.”

Selanjutnya Imam Ahmad menambahkan, “Juga apakah orang tersebut tidak mendengar sabda Rasulullah saw ketika beliau menyebutkan perihal cara burung mencari kehidupannya, dan mengatakan : ‘Berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan pulang sore-sore dengan perut kenyang’ (Riwayat  Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Seorang suami yang penuh rasa cinta, tentu saja dalam mencari rizki hanyalah yang halal, dengan cara yang halal serta menjauhi berbagai sumber yang diharamkan. Ia tidak akan mau memasukkan sesuatu yang haram dan syubhat ke dalam rumahnya, sehingga akan menjadi konsumsi bagi isteri dan anak-anaknya. Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, ia mendengar Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara mutasyabihat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, barangsiapa yang bisa menjaga diri dari perkara syubhat maka telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara syubhat telah terjatuh dalam perkara haram seperti penggembala yang menggembala di dekat tanah larangan yang sesaat lagi gembalanya akan amsuk ke tanah larangan tersebut, ketahuilah setiap raja itu punya tanah larangan, ketahuilah larangan Allah adalah perkara yang diharamkanNya, ketahuilah di dalam jasad itu ada segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika jelek maka jeleklah seluruh jasad, ketahuilah daging tersebut adalah hati” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Pengarahan Nabi saw di atas memberikan ketegasan bahwa hal yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas. Oleh karena itu para suami hendaknya bisa menjauhi hal yang telah jelas-jelas diharamkan, dengan mengambil hanya yang halal saja. Di sisi lain, hendaknya para suami berhati-hati terhadap sesuatu yang syubhat, karena berada pada wilayah antara, yaitu antara halal dan haram.

Suami yang dipenuhi rasa cinta meyakini bahwa Islam melarang berkembangbiaknya riba, penipuan, pemalsuan timbangan, perjudian, dan berbagai bentuk kecurangan dalam berusaha. Misalnya, Allah memberikan celaan terhadap perilaku kecurangan dalam timbangan:

“Celakalah bagi orang-orang yang curang, apabila ia menerima takaran dari orang lain (untuk dirinya sendiri) meminta supaya dipenuhi, tetapi apabila menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Al Muthaffifin: 1-3).

Imam Al Ghazali memberikan perhatian khusus mengenai larangan melakukan penipuan dalam mengembangkan usaha, dengan menyatakan, “Segala hal yang menyebabkan timbulnya sesuatu yang merugikan orang lain dalam berinteraksi ekonomi adalah penganiayaan. Janganlah seseorang memuji dagangan yang dimilikinya dengan pujian yang baik-baik padahal ia tahu ada cacat di dalam dagangan tersebut. Janganlah seseorang itu bersumpah dengan menyebutkan nama Allah padahal antara sumpah dan realitanya justru berkebalikan. Hal ini adalah termasuk dosa yang besar. Ingatlah akan sabda Rasulillah saw, “Sumpah palsu itu merusakkan dagangan dan melenyapkan keberkahan pekerjaan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Suami yang tidak memiliki cinta dalam hatinya, akan cenderung mencari nafkah dengan nafsu keserakahan. Ia mengumpulkan harta dengan menghalalkan segala cara, tidak mempedulikan apakah harta tersebut halal atau haram, tidak peduli apakah akan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau tidak. Yang dipikirkan hanyalah mengumpulkan harta, bisa menyenangkan hati isteri dan anak-anaknya. Bahkan pada sebagian kalangan ada yang sempat berpikir, “Mencari harta yang haram saja susah, apalagi yang halal”.

Cinta yang suci, yang keluar dari jiwa yang bersih, tidak akan melakukan tindakan yang dibenci Allah. Seorang suami akan berpikir jernih dalam mencari penghasilan, ia tidak akan tega memasukkan bara api neraka ke dalam perut anak-anak dan isterinya, justru karena ia mencintai mereka semua. Lihatlah contoh keteladanan dari seorang Khalifah Rasyidah Umar bin Abdul Aziz.

Ketika bertemu dengan putra-putrinya, Umar bin Abduil Aziz berpesan, “Anak-anakku sayang, aku ingin meninggalkan warisan yang banyak supaya kalian hidup berkecukupan dan bergelimang dalam kenikmatan. Namun aku yakin bahwa kalian tidak akan rela bergelimang kenikmatan, sedangkan ayah kalian kesulitan mempertanggungjawabkan di peradilan Allah kelak atas semua yang ayah wariskan untuk kalian.”

Kebaikan diri Khalifah Umar telah tertanam dengan amat kuat pada seluruh keluarga, istri dan anak-anaknya. Pada suatu malam selepas Isya, Umar memasuki kamar putri-putrinya. Segera mereka berpura-pura memasukkan tangan ke mulut, dan cepat-cepat pergi. Umar merasa sikap putri-putrinya itu tidak seperti biasa. Segera ia memanggil pembantunya.

“Mengapa mereka meninggalkan kamarnya?” tanya Khalifah Umar.

“Karena mereka tidak mempunyai makanan selain makanan orang awam, yaitu kacang adas dan bawang, dan mereka tidak ingin anda mengetahui hal itu,” jawab sang pembantu.

Mendengar penuturan itu, Umar menangis. Ia berkata, “Wahai putri-putriku, apalah artinya kalian memakan bermacam-macam makanan yang lezat kalau nantinya bisa mengantarkan ayah kalian ke lembah api neraka.” Mendengar ungkapan Khalifah, putri-putri beliau pun menangis terharu, merasakan berat tanggung jawab ayah mereka sebagai penguasa.

Demikianlah cinta sang Khalifah Rasyidah terhadap keluarganya. Ia hanya memberikan nafkah yang halal dan thayib saja kepada mereka. Perlu dipikirkan, bagaimana agar nafkah bisa didapatkan sehingga mencukupi kebutuhan hidup layak, akan tetapi tidak menghabiskan seluruh waktu untuk itu. Dalam bahasa Robert T. Kiyosaki, berorientasi menjadi Rich Dad, bukan menjadi Poor Dad, yaitu seseorang yang mampu menjadikan uang bekerja untuknya dan bukan menjadikan dirinya bekerja untuk uang. Diperlukan sejumlah ketrampilan untuk bisa hidup layak mencari rizki Allah yang bertebaran di muka bumi.

Penulis:











Cahyadi Takariawan

Aku lahir hari Sabtu Pahing 11 Desember 1965, di desa Salam, kecamatan Karangpandan, kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Bapakku bernama Soebandi –almarhum, seorang PNS di lingkungan pendidikan. Ibuku bernama Wuryastini, pensiunan PNS juga di lingkungan pendidikan. Aku anak ke 5 dari 7 bersaudara.

Kakekku -dari jalur bapak- bernama (alm) Prawirodikromo, seorang perangkat desa. Kakek -dari jalur ibu- bergelar Raden Rangga Baskara (alm), seorang abdi dalem kraton Solo.

Aku sekolah serba negeri. Tidak melalui TK, langsung masuk SD Negeri Salam I, lanjut ke SMP Negeri Karanganyar I, lanjut ke SMA Negeri Karanganyar I. Aku menyelesaikan kuliah di Fakultas Farmasi UGM, kemudian meneruskan Pendidikan Profesi Apoteker di UGM. Orang bilang, gelarku S.Si., Apt.

Aku mengenyam pendidikan agama dengan banyak cara. Pernah menjadi “santri kalong” di Pesantren Mahasiswa Budi Mulia Yogyakarta, pernah menjadi “santri kalong” di Pondok Pesantren Sabilul Khairat, kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dan mengaji “sorogan” langsung kepada para ustadz dan kyai di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Aku pernah mengikuti beberapa Pendidikan Kepemimpinan, di antaranya Pendidikan Kepemimpinan Nasional DPP PKS tahun 2008, dan Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) XLV Lemhannas RI tahun 2010.  Berbagai training dan pelatihan singkat sering aku ikuti sejak masih kuliah sampai sekarang.

Aku dulunya agak aktif di beberapa organisasi, misalnya pernah membantu aktivitas Senat Mahasiswa Fakultas Farmasi UGM, pernah menjadi ketua –bahkan pendiri– Keluarga Mahasiswa Muslim Fakultas Farmasi UGM, aktif di HMI MPO Cabang Yogyakarta, aktif di UKKI Jama’ah Shalahuddin UGM, dan juga Keluarga Alumni Jama’ah Shalahuddin UGM.

Aku seorang bapak rumah tangga. Selain itu aktivitasku saat ini, antara lain Trainer dan Konsultan di Jogja Family Center (JFC), Ketua Dewan Pembina YP2SU, Staf Ahli Pusat Psikologi Terapan Metamorfosa, Penulis, dan Senior Editor PT Era Adicitra Intermedia.

Isteriku bernama Ida Nur Laila. Anakku berjumlah 6, yang tiga lelaki dan tiga perempuan.

Buku yang aku tulis, dan sudah terbit, mungkin sekitar empat puluh judul, di antaranya : Yang Tegar di Jalan Dakwah, Pernik-pernik Rumah Tangga Islami, Fikih Politik Perempuan, Di Jalan Dakwah Aku Menikah, Di Jalan Dakwah Kugapai Sakinah, Izinkan Aku Meminangmu, Agar Cinta Menghiasi Rumah Tangga Kita, Rekayasa Masa Depan Dakwah, Dialog Peradaban: Islam Menggugat Materialisme, Kitab Tazkiyah, Media Massa Virus Peradaban, Menjadi Pasangan Paling Berbahagia, Panduan Ibadah Ramadhan,  …dan lain-lain……

Aku menghabiskan waktu hidupku di jalan, namanya jalan dakwah. Mungkin orang menyebut, itu namanya hobi traveling. Tapi bukan hanya traveling, karena aku juga suka kuliner lho… Aku berjalan di sepanjang pulau Jawa, pulau Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Bali, NTB, Maluku, Maluku Utara, Papua. Aku berjalan juga ke beberapa negara. Masih banyak tempat ingin aku kunjungi. Di sepanjang perjalanan itulah, aku ketemu banyak teman, ketemu banyak saudara, ketemu banyak wacana, ketemu banyak peristiwa…..

Profesiku sebagai penulis buku, membuat aku mengenal banyak sisi dunia. Sering diundang bedah buku dan seminar di banyak tempat, dari sabang sampai merauke, sampai ke manca negara.

Soal kuliner, seleraku sih lokal banget. Kalau ke Solo, makannya nasi kare, sambel tumpang, nasi brongkos, bebek goreng pak slamet… Kalau di Jogja, gudeg pawon jam setengah dua belas malam, atau sate klatak mas pong, kadang wedangan teh panas di angkringan pojok stasiun tugu. Kalau opor ayam, paling enak tuh masakan istriku sendiri, gak da yang nandingi. Naaa kalau di Makassar tuh, sulit untuk pulang. Banyak “undangan” kuliner yang harus dipenuhi. Coto Makassar Dg Sirua, wuah… Konro, sip… Palubassa Serigala, harus tambah…. Ulujuku, wajib 3 porsi….. Belum cukup, di Makassar harus menyempatkan mencicipi cha kangkung, otak-otak ikan, dan barongko pisang. Kalau di Palu, sukanya sop Kaledo. Ini juga perlu dua porsi….

Di Kendari, suka dimasakin Sinonggi atau Kapurung (orang Papua bilang: papeda) oleh istrinya pak Musadar, wakil walikota Kendari. Di Aceh, gak lupa menikmati kopi Ulee Kareng, malamnya di bakmi razali. Di Manado, paginya sarapan nasi kuning Seroja, siang bebas, malamnya ikan masak woku balanga di Malalayang. Di Gorontalo, suka dimasakin binte biluhuta oleh para umahat…. Di Mataram, senang sekali diundang jamuan makan malam di rumah Tuan Guru Muharrar, menunya wajib : pelecing kangkung plus kerupuk kulit. Ke wilayah Jawa Timur, harus mampir pecel madiun. Ke Tegal, sate tegal-nya pakai hoplate, jadi menu makan siang dan malam…. Di Padang, menu masakan padang di rumah dinas wakil walikota, ustadz Mahyeldi, sungguh menggugah selera… (Kolesterol semua ya…..?)

Ketahuan, cerita terbanyak soal kuliner…… Cerita yang lain menyusul….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar